Tertidur Di Masjid, Di pindah Jin Ke Makam
Masjid Ponpes Manba’ul ‘Ulum desa Bacem, kecamatan Kebonsari, kabupaten Madiun terdiri atas dua bagian—bangunan asli dan bangunan tambahan (baru). Bangunan asli sendiri, yang utama untuk laki-laki, dan yang di sisi kanannya untuk perempuan.
Kalau bangunan tambahan dibuat tahun 1970-an, bangunan asli dibuat semasa babad desa Bacem, oleh Syech Abdurrazaq, empat lapis keturunan ke atas dari kiai yang membangun bangunan baru. Pada tahun 1970-an itu atap bangunan asli juga diganti dari sirap menjadi genteng. Kapan bangunan asli dibuat, tidak ada dokumen tertulis kapan, namun pastilah itu ada dalam abad 19.
Mengingat usianya yang begitu tua, bangunan masjid asli ini dikenal keramat. Jangan pernah mencoba main-main di dalam masjid. Kata para ustadz kami, dan telah dipercaya turun-temurun, di masjid ini ada jin santri yang juga bertugas untuk menjaga keamanan dan kehormatan masjid. Ada seseorang tidak mempercayainya sebelum kemudian dia mengalaminya sendiri.
Saat itu dia masih duduk di kelas 6 SD; dan pada suatu Rabu malam menjelang bulan ramadhan. Seperti biasa, dia ikut mengaji kitab Riyadus Shalihin—salah satu kitab kuning yang dipelajari para santri, baik dari desa kami (di sebelah utara masjid) maupun dari luar daerah (di sebelah selatan masjid). Dia kebetulan mengaji ke Ust. Abdi Manaf, paman dia sendiri, yang kala itu menjadi lurah pondok domestik.
Rabu malam dia perlu makan sahur, karena saya terbiasa puasa Senin-Kamis. Karena dia sudah dibekali ibuk makanan untuk sahur [favorit saya botok ikan gabus dan tempe goreng], maka setelah mengaji kitab kuning di atas, dia tidak segera pulang. Toh adik dia sudah pulang bersama bapak seusai shalat isya’. Dia malah nderes (mengaji berulang-ulang) kitab pegon itu, agar dia segera memahami isinya dengan baik. Ternyata, kenyataan berbicara lain.
Sekitar pukul 23.00-an,dia ketiduran di dalam ruang masjid, dekat bilik imam dan mimbar khotbah itu, suatu tempat yang diwanti-wanti untuk tidak untuk main-main. Namun, apa mau dikata? Serangan kantuk begitu dahsyatnya, sehingga dia langsung pulas, bermimpi naik sampan menyeberangi samudera. Sekitar pukul 02.00 dini hari dia terbangun tatkala sayup-sayup mendengar suara adzan. Itu suara adzan untuk membangunkan para santri, guna menunaikan shalat malam (shalat tasbih, tahajjud dan hajat). Pikir dia, ya Allah, berilah kekuatan pada dia untuk segera menyusul shalat malam. Mata dia masih kriyip-kriyip, berat sekali untuk dibuka—lengket seperti ditambal dengan lem. Ketika mata terbuka utuh, dia tidak melihat dampar (meja pendek untuk alas mengaji), atau cahaya lampu gaspon yang cukup terang. Astaghfirullah! Yang dia lihat adalah nisan-nisan di bawah sinar rembulan yang meremang. Bisa dibayangkan, bagaimana ekspresi dia saat itu: Anak kelas 6 SD, sendirian di dalam makam, dengan cahaya rembulan remang-remang. Segera dia mengenali bahwa tempat dia berbaring ini adalah tanah makam masjid, hanya di luar area bilik imam dan mimbar khutbah.
Berhubung dia cukup sering mengaji di cungkup makam itu (dengan guru ngaji saya), dahsyatnya rasa takut dan penasaran tidak seberapa mencomotkan jantung. Hanya degupnya, memang tak henti-henti. Panas dingin, sudahlah pasti. Pyar-pyar, bulu kuduk berdiri semuanya. Jantung masih terus berpacu. Mau lari? Mustahil rasanya. Jika sampai lari, kaki pastilah akan terantuk nisan di sana-sini, dan akan membuat dia jatuh tersungkur. Sejenak saya berusaha keras memenangkan diri.... Sambil membaca istighfar, shalawat, dan ayat kursiy sambil gemetaran, dia perlahan berjalan keluar dari makam, dan menuju kolam tempat wudlu. Masih dengan tubuh panas-dingin, dia pun mengambil air wudlu, dan berusaha menenangkan diri. Tak lama kemudian, dia bergabung dengan jamaah shalat malam.
Singkat kata, setelah shalat malam, menjelang makan sahur, dia menemui lurah pondok domestik yang juga paman dia sendiri. Dia ceritakan semuanya dengan jujur, apa adanya. Di penghujung waktu konsultasi itu, beliau bertutur lembut, ”Ojo wedi, Le. Iku jin santri. Dheweke ora lila yen awakmu bobo neng kono.” (Jangan takut, Nak. Itu jin santri. Dia tidak rela jika kamu tidur di sana.) Lebih lanjut, kata beliau, jin juga makhluk Tuhan. Mirip dengan manusia, jin juga ada yang baik ada yang jahat. Jin yang jahat biasa disebut setan atau iblis. Lalu, apakah yang perlu ditakutkan? Bukankah seyogianya seharusnya lebih takut pada manusia yang berjiwa setan atau iblis?***
Salam anak bacem
BalasHapusSalam anak bacem
BalasHapus